“NAH?” Aku melangkah keluar dari mobil dan masuk ke dalam panasnya bulan Agustus yang membara di Georgia. “Luar biasa,” gumamku, sambil menggeserkan kacamata hitam ke kepalaku. Berkat kelembapan, rambutku rasanya jadi tiga kali lipat besarnya. Aku bisa merasakan rambutku yang mencoba melahap kacamata hitam mirip semacam tumbuhan hutan karnivora.
Tips, use query like this to get relevance result: 'artist - song title'. Meski perih mengiris di segala janji. Aku berdansa di ujung gelisah diiringi syahdu lembut lakumu kau sebar benih anggun jiwamu namun kau tiada menuai buah cintaku yg ada hanya sekuntum rindu. OK Google, sekedar pemberitahuan, kami tidak menyediakan download MP3 dari lagu di atas.
“Aku selalu penasaran seperti apa rasanya hidup di dalam mulut seseorang.” Di hadapanku menjulang Hecate Hall—menurut brosur yang kupegang dengan tanganku yang berkeringat—adalah “Lembaga pemasyarakatan untuk remaja Prodigium”. Cuma istilah Latin untuk menyebut monster. Dan itulah semua orang yang berada di Hecate. Aku sudah membaca brosur itu empat kali di pesawat dari Vermont ke Georgia, dua kali sambil menumpang feri ke Pulau Graymalkin, tak jauh dari lepas pantai Georgia (yang kemudian kuketahui bahwa tempat itu dibangun pada tahun 1854) dan sekali saat mobil sewaan kami menggilas batu karang dan kerikil jalan dari pantai menuju ke parkiran sekolah.
Jadi seharusnya aku hafal betul, tetapi aku masih tetap mencengkeramnya dan di luar kesadaran membacanya lagi, seolah-olah benda itu semacam selimut kesayanganku atau apalah: Tujuan dari Hecate Hall adalah untuk melindungi dan mengajar shapeshifter —makhluk yang dapat berubah wujud, penyihir, dan anak-anak peri yang telah menimbulkan risiko memaparkan kemampuan mereka, dan membahayakan masyarakat Prodigium secara keseluruhan. “Aku masih tak habis pikir bagaimana menolong seorang gadis untuk mencari pacar bisa membahayakan penyihir lain,” kataku, sambil memicingkan mata kepada ibuku saat kami mengulurkan tangan ke dalam bagasi untuk mengambil barang-barangku. Pikiran itu sudah menggangguku sejak pertama kali aku membaca brosur tersebut, tetapi aku belum sempat mengutarakannya. Mom menghabiskan sebagian besar perjalanan dengan berpura-pura tidur, mungkin untuk terhindar dari melihat ekspresi wajah masamku. “Bukan hanya satu gadis itu saja, Soph, dan kau tahu itu. Tapi juga anak laki-laki yang tangannya patah di Delaware, dan guru yang kau coba buat lupa tentang ulangan di Arizona.” “Pak guru itu toh akhirnya mendapatkan ingatannya kembali,” kataku. “Yah, sebagian besarnya.” Mom hanya menghela napas dan mengeluarkan koper usang yang kami beli dari gerakan amal The Salvation Army.
“Ayahmu dan aku sudah memperingatkanmu bahwa ada konsekuensi dari menggunakan kekuatanmu. Aku juga sama tidak senangnya denganmu, tapi setidaknya di sini kau akan berada di antara. Di antara anak-anak lain seperti dirimu.” “Maksud Mom pecundang.” Aku menarik tasku dan menyampirkannya di pundak. Mom mendorong kacamata hitamnya ke atas dan menatapku.
Dia tampak lelah dan ada garis-garis dalam di sekitar mulutnya, garis-garis yang belum pernah kulihat sebelumnya. Ibuku hampir empat puluh tahun, tapi biasanya dia dikira sepuluh tahun lebih muda. “Kau bukan pecundang, Sophie.” Kami mengangkat koper itu bersama-sama. “Kau hanya membuat beberapa kesalahan.” Begitu, ya.
Sebagai penyihir ternyata sama sekali tidak semenyenangkan seperti yang kubayangkan. Salah satunya, aku tidak pergi ke mana-mana dengan sapu lidi. (Aku pernah menanyakannya kepada ibuku tentang hal itu sewaktu aku mendapatkan kekuatan untuk pertama kalinya, dan katanya tidak, aku harus tetap naik bus seperti orang lain.) Aku tidak punya buku mantra atau bicara dengan kucing (aku alergi), dan bahkan aku tidak akan tahu di mana bisa kudapat benda-benda seperti mata kadal air. Tapi, aku bisa menyihir.
Aku sudah bisa sejak berumur dua belas tahun—menurut brosur lembap karena keringat itu—merupakan usia semua Prodigium mendapatkan kekuatannya. Ada hubungannya dengan pubertas, kurasa. “Lagi pula, ini sekolah bagus,” kata Mom saat kami mendekati bangunan tersebut. Tetapi, bangunan itu tidak kelihatan seperti sekolah. Tempat itu kelihatan seperti persilangan antara sesuatu dari film horor kuno dan Rumah Hantu di Disney World. Pertama-tama, jelas-jelas umurnya hampir dua ratus tahun.
Tingginya tiga lantai, dan lantai ketiganya bertengger seperti puncak kue pengantin. Rumahnya mungkin dulunya putih, tetapi sekarang warnanya semacam kelabu pudar, hampir sama dengan warna kulit kerang dan kerikil jalan, yang membuatnya tidak terlalu mirip rumah dan lebih mendekati semacam gundukan batu alami dari pulau tersebut.
“Huh,” kata Mom. Kami menjatuhkan kopernya, dan dia berjalan ke arah samping bangunan. “Coba lihat itu!” Aku mengikutinya dan langsung melihat apa yang dimaksud. Brosurnya mengatakan Hecate sudah membuat “tambahan besar terhadap bangunan aslinya” selama bertahun-tahun. Ternyata, itu artinya mereka memotong bagian belakang rumah dan menempelkan bangunan lain ke rumah tersebut. Kayu berwarna kelabu berhenti setelah sekitar dua puluh meter dan berubah menjadi plester merah jambu yang memanjang sampai ke hutan. Untuk sesuatu yang jelas-jelas dibangun oleh sihir—tidak ada sambungan di tempat kedua bangunan itu bertemu, tidak ada garis semen—kau pasti menyangka seharusnya bangunannya jadi sedikit lebih anggun.
Sebagai gantinya, rumah itu kelihatan seperti dua rumah yang dilem oleh orang gila. Orang gila yang punya selera sangat buruk.
Pohon-pohon ek besar di halaman depan digelayuti oleh tumbuhan jenggot musa, melindungi rumahnya. Bahkan, tampaknya ada tumbuhan di mana-mana. Dua pakis di dalam pot berdebu membingkai pintu depan, tampak seperti laba-laba hijau raksasa, dan semacam sulur-suluran dengan bunga ungu menguasai seluruh permukaan dindingnya.
Rumah itu seolah-olah diserap secara perlahan-lahan oleh hutan di belakangnya. Aku menyentakkan ujung rok biru berlipit keluaran Hecate Hall baruku dan bertanya-tanya mengapa sebuah sekolah di tengah-tengah Selatan Amerika punya seragam dari bahan wol. Meskipun demikian, sembil menatap sekolah itu, aku menahan diri agar tidak bergidik. Aku ingin tahu bagaimana orang bisa memandang tempat ini tanpa mencurigai bahwa murid-muridnya adalah segerombolan orang aneh. “Cantik,” kata Mom dengan suara terbaiknya yang menyiratkan ‘bergembiralah dan lihatlah sisi baiknya’. Walau begitu, aku tidak merasa terlalu bergembia.
Untuk sebuah penjara.” Ibuku menggelengkan kepalanya. “Hentikan sikap kasarmu itu, Soph. Ini bukan penjara.” Tapi, begitulah rasanya. “Ini benar-benar tempat terbaik untukmu,” katanya sambil mengangkat koper. “Kurasa,” gerutuku. ‘Demi kebaikanmu’ sepertinya menjadi mantra kalau menyangkut antara aku dan Hecate. Dua hari setelah prom, kami mendapatkan surat elektronik dari ayahku yang pada dasarnya mengatakan bahwa aku sudah merusak semua kesempatan yang diberikan kepadaku, dan bahwa Dewan menghukumku ke Hecate sampai ulang tahunku kedelapan belas.
Dewan merupakan sekelompok orang tua yang membuat semua peraturan untuk Prodigium. Aku tahu, dewan yang menyebut diri mereka “Dewan”. Pokoknya, Dad bekerja untuk mereka, jadi mereka membiarkan Dad yang menyampaikan kabar buruk itu. “Semoga,” katanya di dalam suratnya, “Ini akan membuatmu belajar bagaimana cara menggunakan kekuatanmu secara lebih berhati-hati lagi.” Surat elektronik dan sesekali telepon merupakan satu-satunya kontak antara aku dan ayahku. Dia dan Mom berpisah sebelum aku lahir.
Ternyata Dad tidak memberi tahu Mom bahwa dirinya adalah warlock (itu adalah istilah yang lebih disukai untuk menyebut penyihir laki-laki) sampai mereka sudah hidup bersama selama hampir setahun. Mom tidak menganggap itu berita baik. Dia mencoret Dad dari daftar dan pulang kembali ke orangtuanya. Tapi kemudian, Mom mendapati dirinya mengandung aku, lalu dia memiliki sebuah Ensiklopedia Sihir di antara buku-buku bayinya, untuk berjaga-jaga saja.
Sewaktu aku lahir, Mom sudah jadi pakar dalam bidang hal-hal yang membuat bulu kuduk berdiri. Saat aku mendapatkan kekuatanku pada ulang tahunku yang kedua belas, barulah Mom dengan enggan membuka jalur komunikasi dengan Dad.
Tetapi, Mom bersikap sangat dingin terhadap Dad. Dalam kurun waktu sebulan sejak ayahku mengatakan bahwa aku akan pergi ke Hecate, aku mencoba berdamai dengan keadaan. Aku menghibur diri bahwa akhirnya aku berada di antara orang-orang yang sama seperti aku, aku tidak perlu menyembunyikan identitasku yang sebenarnya dari mereka. Dan mungkin aku bisa mempelajari mantra-mantra keren. Itu semua adalah dorongan terbesarku.
Tetapi, begitu Mom dan aku naik ke feri yang membawa kami ke pulau terpencil ini, aku mulai merasa mual. Dan percayalah, itu bukan karena mabuk laut. Menurut brosur, Pulau Graymalkin dipilih sebagai tempat Hecate karena lokasinya yang terpencil, tempat yang baik untuk merahasiakannya. Penduduk setempat menganggap tempat itu hanyalah sekolah asrama yang super eksklusif.
Pada saat ferinya merapat ke teluk berhutan lebat yang akan menjadi rumahku selama dua tahun ke depan, aku mulai berpikir-pikir lagi. Rasanya bagaikan sebagian besar muridnya sedang berkeliaran di halaman, tetapi hanya sebagian kecil saja yang kelihatan baru—seperti aku. Mereka sedang menurunkan koper-koper, menenteng tas. Beberapa di antara mereka menenteng koper usang seperti punyaku, tetapi aku juga melihat dua tas Louis Vuitton. Seorang gadis, berambut gelap dengan hidung yang sedikit bengkok, kelihatannya sebaya denganku, sementara murid-murid baru lainnya sepertinya lebih muda. Aku benar-benar tidak bisa membedakan apa mereka, apakah itu penyihir dan warlock atau shapeshifter.
Karena kami semua kelihatan seperti orang-orang biasa, tidak mungkin untuk membedakan. Sebaliknya, para peri, sangat mudah dilihat.
Mereka semua lebih jangkung daripada orang kebanyakan dan kelihatan anggun, dan masing-masing berambut lurus mengilap, dengan warna bermacam-macam, dari keemasan pucat sampai ungu cerah. Dan mereka punya sayap. Menurut Mom, peri biasanya menggunakan glamour untuk berbaur dengan manusia. Glamour adalah mantra yang rumit karena melibatkan mengubah otak orang yang mereka temui, tetapi itu artinya manusia hanya bisa melihat peri sebagai orang-orang normal dan bukannya. Yang cerah, berwarna-warni dan bersayap. Aku ingin tahu apakah peri yang mendapatkan hukuman ke Hecate merasa lega. Pastinya sulit, melakukan mantra sebesar itu setiap waktu.
Aku jeda sejenak untuk meluruskan tas jinjing di pundakku. “Setidaknya tempat ini aman,” kata Mom. “Itu bagus, bukan? Aku tidak harus terus-menerus mengkhawatirkan dirimu kali ini.” Aku tahu Mom gelisah karena aku begitu jauh dari rumah, tetapi dia juga senang karena menempatkan aku di tempat yang tidak membuatku berisiko untuk diketahui. Kalau kau menghabiskan semua waktumu dengan membaca tentang berbagai cara yang digunakan orang-orang untuk membunuh kaum penyihir selama bertahun-tahun, kau akan cenderung jadi sedikit paranoid. Sementara kami berjalan ke arah sekolah, aku bisa merasakan keringat terbit di tempat-tempat ganjil yang aku yakin belum pernah berkeringat sebelumnya. Bagaimana cara telingamu berkeringat?
Mom, seperti biasa, tampak tidak terpengaruh oleh kelembapan. Rasanya seperti hukum alam yang tidak alami betapa ibuku tidak pernah kelihatan kurang dari sangat cantik. Walaupun dia hanya memakai jins dan kaus pun, semua orang melihat ke arahnya. Atau, mungkin karena mereka menatap saat aku mencoba dengan diam-diam mengusap keringat dari antara dadaku tanpa kelihatan berbuat senonoh dengan diriku sendiri.
Sulit untuk diketahui. Di sekelilingku ada hal-hal yang hanya kubaca di buku. Di sebelah kiriku, seorang peri berambut biru dengan sayap indigo sedang terisak-isak sambil berpegangan ke kedua orangtuanya yang bersayap, yang kakinya melayang sekitar dua senti dari tanah. Sementara aku memperhatikan, air mata kristal terjatuh bukan dari mata si gadis, melainkan dari sayapnya, menyebabkan kakinya menggantung di atas kubangan biru cerah. Kami berjalan ke bawah bayang-bayang pohon-pohon besar yang sudah tua—yang artinya hawa panas berkurang mungkin setengah derajat saja. Tepat pada saat kami mendekati tangga depan, sebuah lolongan tidak wajar menggema di udara yang pengap.
Mom dan aku berputar dan melihat. Makhluk yang sedang menggeram kepada dua orang dewasa yang kelihatan agak frustrasi. Mereka tidak tampak ketakutan, hanya agak jengkel. Tak peduli seberapa seringnya kau membaca tentang werewolf, melihatnya tepat di depan matamu merupakan pengalaman yang sama sekali baru. Di antaranya, makhluk itu tidak mirip serigala. Atau manusia. Melainkan lebih mirip anjing liar besar yang berdiri dengan kaki belakangnya.
Bulunya pendek dan cokelat muda, bahkan dari kejauhan pun aku bisa melihat matanya yang kuning. Dia juga jauh lebih kecil daripada yang kubayangkan. Bahkan, sama sekali tidak setinggi lelaki yang digeraminya. “Hentikan itu, Justin,” lelaki itu meludah. Yang wanita, yang kulihat rambutnya berwarna cokelat muda sama dengan bulu werewolf, memegang lengannya. “Sayang,” katanya dengan suara lembut beraksen Selatan, “Dengarkah ayahmu.
Ini konyol.” Selama sedetik werewolf itu, eh, Justin, berhenti, kepalanya dimiringkan, membuatnya kelihatan lebih tidak mirip dengan makhluk buas yang gemar menggorok leher melainkan seperti anjing Spaniel kecil. Bayangan itu membuatku cekikikan. Dan mendadak sepasang mata kuning itu menatapku. Dia menggeram lagi, bahkan sebelum aku sempat berpikir, dia menyerang.
FELICIA MILLER menangis di kamar kecil. Aku tahu itu Felicia karena selama tiga bulan aku bersekolah di Green Mountain High, sudah dua kali aku melihat gadis itu menangis di toilet. Isak tangisnya benar-benar khas, melengking dan penuh desahan seperti tangisan anak kecil, walaupun Felicia sudah delapan belas tahun, dua tahun lebih tua daripada aku.
Sebelumnya aku membiarkan saja, menganggap setiap gadis berhak untuk menangis di toilet umum dari waktu ke waktu. Tapi malam ini adalah malam prom1, dan menangis sambil mengenakan pakaian resmi itu sungguh menyedihkan. Lagi pula, lama-kelamaan aku iba juga kepada Felicia. Ada saja gadis mirip dia di setiap sekolah tempat aku pernah terdaftar jadi murid (sembilan belas dan masih akan bertambah lagi).
Walaupun aku mungkin orang aneh, orang tidak bersikap jahat kepadaku—sebagian besar tidak menggubrisku. Sebaliknya, Felicia, adalah karung tinju di kelas. Untuk gadis itu, sekolah tak lebih dari serentetan kejadian uang jajan yang dicuri dan cemoohan keji. Aku melihat ke bagian bawah pintu bilik dan melihat sepasang kaki yang memakai sandal kuning bertali.
“Felicia?” panggilku, sambil mengetuk pintu dengan pelan. “Ada apa?” Dia membuka pintu dan menatapku marah dengan matanya yang merah. Yah, begini, Sophie, ini malam prom tahun terakhirku dan apakah kau melihat ada pasangan kencan bersamaku?” “Eh.
Tapi kau kan ada di toilet perempuan, jadi kupikir—” - 1 Pesta dansa “Apa?” tanyanya sambil berdiri dan menyeka hidungnya dengan segumpal besar tisu. “Cowokku sedang menungguku di luar sana?” Dia mendengus. “Yang benar saja.
Aku berbohong kepada orangtuaku dan mengatakan bahwa aku punya kencan. Jadi mereka membelikan aku gaun ini”—dia menepiskan tangannya ke gaun taffetakuningnya seakan-akan itu serangga yang ingin dia bunuh—“Dan kubilang pada mereka bahwa aku akan bertemu dengannya di sini, jadi mereka mengantarkan aku. Aku tak sanggup mengatakan kepada mereka bahwa aku tidak diundang ke prom kelulusanku sendiri. Itu pasti membuat mereka sedih.” Felicia memutar matanya.
“Kurang menyedihkan bagaimana, coba?” “Ah, itu tidak terlalu menyedihkan,”kataku. “Banyak cewek yang datang ke prom sendirian.” Dia membeliakkan mata kepadaku.“Apakah kau punya pasangan?” Aku memang punya pasangan.
Sungguh, namanya Ryan Hellerman, yang mungkin satu-satunya anak di Green Mountain High yang kurang populer dibandingkan dengan aku, tapi tetap saja pasangan. Dan ibuku senang sekali karena ada yang mengajakku. Dia menganggap itu sebagai pertanda akhirnya aku berusaha membaur. Itu benar-benar penting bagi ibuku. Aku mengamati Felicia yang berdiri dengan gaun kuningnya, sambil mengelap hidungnya, dan sebelum aku bisa menghentikan diriku, aku mengatakan sesuatu yang bernar-benar tolol, “Aku bisa membantu.” Felicia mendongak untuk menatapku dengan mata sembap. “Bagaimana?” Aku menarik tangannya agar berdiri.“Kita harus pergi ke luar.” Kami keluar dari toilet dan menembus aula olahraga yang penuh sesak. Felicia tampak waspada saat aku membimbingnya melewati pintu ganda besar dan keluar ke parkiran.
“Kalau ini semacam lelucon, aku bawa semprotan merica di tasku,” katanya, sambil memegang tas tangan kuningnya yang kecil ke dadanya. “Tenang saja.” Aku memandang berkeliling untuk memastikan bahwa di parkiran tidak ada orang. Walaupun saat itu akhir bulan April, udara masih terasa dingin, dan kami menggigil dalam balutan gaun kami. “Baiklah,” kataku, sambil berputar menghadap Felicia. “Kalau kau bisa mendapatkan pasangan prom, siapa orangnya yang kau mau?” “Apakah kau sedang mencoba menyiksaku?” tanyanya. “Jawab saja pertanyaanku.” Sambil menatap sepatu kuningnya, dia menggumam, “Kevin Bridges?” Aku tidak heran. Ketua OSIS, kapten sepak bola, cowok paling keren.
Kevin Bridges adalah pemuda yang akan dipilih oleh hampir semua gadis sebagai pasangan prom. “Baiklah kalau begitu. Kevin pun jadi,” gumamku, sambil membunyikan buku-buku jariku. Dengan mengangkat kedua tangan ke langit, aku memejamkan mata dan membayangkan Felicia digandeng oleh Kevin, Felicia memakai gaun kuning cerah, Kevin dengan tuksedo. Setelah beberapa detik memusatkan perhatian kepada bayangan tersebut, aku mulai merasakan sedikit getaran di bawah kakiku dan merasakan seolah-olah ada air yang mengalir naik sampai ke tanganku yang terentang. Rambutku mulai melayang dari pundakku, kemudian aku mendengar Felicia terkesiap.
Sewaktu membuka mata, aku melihat tepat seperti yang kuharapkan. Di atas, awan hitam besar sedang berputar, kilatan cahaya keunguan berdenyar-denyar di dalamnya. Aku terus-menerus memusatkan pikiran, dan selama aku berkonsentrasi, awan itu berputar lebih cepat sampai membentuk lingkaran sempurna dengan lubang di tengahnya. Donat Sihir, begitulah aku menyebutnya saat pertama kali menciptakannya pada ulang tahunku yang kedua belas. Felicia merunduk di antara dua mobil, lengannya terangkat di atas kepalanya. Tetapi sudah terlambat untuk berhenti. Lubang di tengah-tengah awan diisi oleh cahaya hijau cerah.
Dengan memusatkan perhatian kepada cahaya tersebut serta bayangan Kevin dan Felicia, aku menegakkan jari-jari tanganku dan memperhatikan sementara sambaran kilat hijau melesat keluar dari awan dan melintasi langit. Kilat itu lenyap di balik pepohonan.
Awannya menghilang, dan Felicia pun berdiri dengan kaki gemetaran. “A-apa itu tadi?” Dia berpaling ke arahku, matanya terbelalak.
“Apakah kau penyihir atau semacamnya?” Aku mengedikkan bahu, masih merasakan dengungan menyenangkan akibat kekuatan yang baru saja kulepaskan. Mabuk sihir, begitu selalu Mom menyebutnya. “Bukan apa-apa,” kataku. “Nah, sekarang mari kita masuk.” Ryan sedang berdiri di dekat meja limun saat aku kembali masuk.
“Kenapa dia?” tanyanya, sambil mengangguk ke arah Felicia. Gadis itu tampak terbengong-bengong sambil berdiri berjingkat-jingkat, mencari-cari di lantai dansa. “Oh, dia cuma perlu udara segar,” jawabku, sambil mengambil segelas limun. Jantungku masih berdebar-debar, dan kedua tanganku gemetar. “Keren,” kata Ryan, sambil mengangguk-anggukkan kepalanya seiring irama musik. “Dansa, yuk?” Sebelum aku bisa menjawab, Felicia berlari menghampiri dan menyambar lenganku. “Bahkan dia tidak ada di sini,” katanya “Bukankah.
Sesuatu yang kau lakukan tadi membuat dia jadi pasangan promku?” “Ssst! Ya, benar, tapi kau harus sabar. Begitu Kevin datang, dia akan mencarimu, percayalah padaku.” Kami tidak perlu lama-lama menunggu. Ryan dan aku baru saja berdansa separuh lagu ketika hantaman kencang bergema di seluruh penjuru aula olahraga. Ada rentetan bunyi meletup yang berturut-turut, nyaris mirip dengan letusan bedil, yang membuat anak-anak menjerit-jerit dan lari berlindung ke bawah meja makanan. Aku melihat mangkuk limun terjun ke lantai, menumpahkan cairan merah ke mana-mana. Tapi bukan senjata api yang mengakibatkan bunyi meletup-letup itu, melainkan balon.
Ratusan balon. Entah apa yang terjadi yang mengakibatkan gapura besar dari balon itu terhempas ke lantai. Aku melihat saat sebuah balon putih selamat dari pembantaian dan melayang naik ke puncak atap aula. Aku menengok ke belakang dan melihat beberapa orang guru berlarian menuju pintu. Yang sudah tidak ada di sana lagi. Itu karena sebuah Land Rover perak menabrak pintu masuk. Kevin Bridges sempoyongan keluar dari kursi pengemudi.
Kening dan tangannya terluka, dan meneteskan darah ke permukaan kayu keras yang mengilap saat dia berteriak, “Felicia! FELICIA!” “Astaga,” gumam Ryan. Teman kencan Kevin, Caroline Reed, cepat-cepat keluar dari kursi penumpang. Dia tersedu-sedu. “Dia gila!” pekiknya. “Dia baik-baik saja, dan ada petir dan.
Dan.” Gadis itu melengking, menjadikan suasana semakin histeris. Aku langsung merasa mual. “FELICIA!” Kevin terus berteriak-teriak, dengan liar mencari-cari di aula itu. Aku memandang berkeliling dan melihat Felicia sedang bersembunyi di bawah salah satu meja, matanya melotot. Aku sudah berhati-hati kali ini, kupikir. Aku sudah lebih mahir sekarang!
Kevin menemukan Felicia dan merenggutnya keluar dari bawah meja. “Felicia!” Kevin nyengir lebar, wajahnya menjadi cerah—yang tampak mengerikan dengan wajah yang berlepotan darah. Aku tidak menyalahkan Felicia karena menjerit sekuat tenaga.
Salah satu pengawas, Pelatih Henry, berlari menghampiri untuk membantu, menyambar tangan Kevin. Tetapi Kevin hanya berbalik, satu tangannya masih menggenggam Felicia, dan memukul wajah Pelatih Henry dengan punggung tangan satunya.
Pelatih yang tingginya sekitar satu meter delapan puluh senti dan lebih dari sembilan puluh kilogram itu melayang ke belakang. Setelah itu, neraka pun terbuka lebar. Orang-orang berhamburan menuju pintu, lebih banyak lagi guru-guru yang mengepung Kevin, dan jeritan Felicia kini mengandung keputusasaan yang semakin kuat. Hanya Ryan yang tampak tidak terpukul. “Luar biasa!” katanya dengan penuh semangat pada saat yang bersamaan dengan dua gadis yang memanjat Land Rover dan keluar dari aula. “Carrie prom!” Kevin masih tetap menggenggam satu tangan Felicia, dan sekarang pemuda itu sudah berlutut dengan satu kaki.
Aku tidak yakin, berkat suara jeritan itu, tetapi sepertinya Kevin sedang bernyanyi untuk Felicia. Gadis itu sudah tidak menjerit-jerit lagi, tetapi dia merogoh-rogoh tasnya untuk mencari sesuatu. “Oh tidak,” erangku.
Aku mulai berlari menghampiri mereka, tetapi terpeleset dan jatuh di kubangan limun. Felicia mengocok tabung merah kecil dan menyemprotkan isinya ke wajah Kevin. Lagunya berubah menjadi raungan nyeri yang membingungkan.
Kevin melepaskan tangan Felicia dan mencengkeram matanya. Felicia pun segera berlari pergi. “Tidak apa-apa, Sayang!” seru pemuda itu kepada Felicia. “Aku tidak perlu mata untuk melihatmu! Aku melihatmu dengan mata hatiku, Felicia! HATI-ku!” Bagus.
Mantraku bukan hanya terlalu kuat, melainkan juga payah. Aku duduk di kubangan limun sementara huru-hara yang kuciptakan bergejolak di sekelilingku. Sebuah balon putih melambung-lambung di sikuku, dan Mrs. Davison, guru Aljabarku, lewat dengan terseok-seok, sambil berteriak ke telepon genggamnya, “Kubilang Green Mountain High! Entahlah, ambulans?
Kirimkan siapa saja ke sini!” Kemudian aku mendengar sebuah lengkingan. Sophie Mercer!” Felicia sedang menunjuk-nunjuk ke arahku, seluruh tubuhnya gemetaran. Bahkan di tengah-tengah kebisingan itu, kata-kata Felicia menggema di aula olahraga yang besar itu.
Dia penyihir!” Aku menghela napas. “Jangan lagi.”. 'Percy Jackson And The Olympians: The Lightning Thief.' Scholastic Scope 58.10 (2010): 6.
![Download lirik lagu aku berdansa diujung gelisah Download lirik lagu aku berdansa diujung gelisah](/uploads/1/2/5/6/125627773/720111040.jpg)
MasterFILE Premier. Shrijith, A. 'The World Of Percy Jackson And The Lightning Thief.' Language In India 12.3 (2012): 518-523.
Communication & Mass Media Complete. Riordan,Rick The Blood Of Olympus.
Percy Jackson & The Olympians. Hyperion Books.
Riordan, Rick. The Lightning Thief. Percy Jackson & the Olympians (1 ed.). Riordan, Rick (1 April 2007). The Titan's Curse (First ed.).
Hyperion Books. Riordan, Rick. The Battle of the Labyrinth. Riordan, Rick (5 May 2009). The Last Olympian.
Riordan, Rick. The Mark of Athena.
New York: Disney Hyperion, 2012. Riordan, Rick. The Sea of Monsters (British first ed.). 'Blood of Olympus'.
Riordan, Rick. The Lost Hero. Riordan, Rick. The House of Hades. New York: Disney Hyperion, 2013.
Riordan, Rick (10 February 2009). 'Percy Jackson and the Stolen Chariot'. The Demigod Files. Riordan, Rick (10 February 2009).
'Percy Jackson and the Sword of Hades'. Riordan, Rick (10 February 2009). The Demigod Files. Percy Jackson and The Olympians: The Ultimate Guide. (Press release). August 14, 2012.
Retrieved September 23, 2014.